JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memberlakukan kembali tax amnesty atau pengampunan pajak akan segera bergulir. Terkait wacana tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menyatakan tidak setuju dengan tax amnesty jilid II tersebut. Menurutnya, hal tersebut tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan di Indonesia serta mengingkari komitmen tax amnesty yang pertama kali dilakukan pada 2016 lalu.
“Tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi. Pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak. Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak yang patuh, serta wajib pajak yang sudah diaudit, tentu akan tercederai, ” kata Andreas dalam rilis medianya kepada Parlementaria, Sabtu (22/5/2021).
Secara psikologis, politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menilai jika tax amnesty tetap diberlakukan maka akan berdampak buruk karena menciptakan pemahaman baru di masyarakat, yaitu 'lebih baik tidak patuh membayar pajak karena akan ada tax amnesty lagi'. Perlu diketahui bahwa kebijakan tax amnesty tahun 2016 diimplementasikan sebagai wujud keterbukaan dan niat baik pemerintah.
Tujuannya untuk melakukan rekonsiliasi dengan cara menunda penegakan hukum yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak. Pada saat itu, pajak diterapkan dengan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu penahanan harta di dalam negeri hanya 3 tahun, hingga mendapat pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya.
Terlebih, Ditjen Pajak masih memberikan kesempatan wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final, atau PAS Final, sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2017. Lewat aturan itu, wajib pajak membayar PPh terutang dan mendapat keringanan sanksi administrasi. Hal inilah yang dinilai Andreas seharusnya diikuti para wajib pajak dengan sebaik-baiknya.
Pasca amnesti, pemerintah dan DPR sebenarnya telah menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2007. Andreas menilai, dengan begitu seharusnya penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data dan informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko. Ditjen Pajak perlu mengoptimalkan tindak lanjut data dan informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan pajak lebih baik.
“Tax amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang tax amnesty, ” tegas Anggota Badan Legislasi DPR RI itu.
Menutup pernyataannya, Andreas menyarankan untuk memfasilitasi wajib pajak yang patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela atau Voluntary Disclosure Program dengan mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi.
“Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi, dan atau bisa juga menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hokum yang konsisten dan terukur, ” tutup legislator dapil Jawa Timur V itu. (alw/sf)