JAKARTA - Rencana pemerintah melakukan digitalisasi sekolah pada tahun 2021 dinilai belum matang. Proyek digitalisasi ini menelan anggaran hingga Rp 3 triliun dan diproyeksikan untuk daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Sementara akses di wilayah 3T tersebut belum terjangkau akses internet.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengemukakan hal ini dalam siaran persnya, Senin (9/10/2020). Proyek ini, katanya, terkesan terburu-buru. “Wilayah 3T belum ter-cover penuh jaringan internet. Sedangkan SDM guru kita juga masih belum siap. Harusnya selesaikan PR ini dulu, ” serunya.
Proyek digitalisasi sekolah di wilayah 3T ini rencananya dengan melakukan pengadaan laptop, proyektor, dan perangkat teknologi informasi (TIK). Menurut Fikri, proyek itu selain belum matang juga tidak tepat sasaran. Apalagi, data pemerintah sendiri menunjukkan wilayah 3T masih sulit dijangkau sinyal. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sendiri menyebutkan, akses internet hingga belum bisa diakses 100 persen di wilayah 3T.
"Baru setengah dari total desa di wilayah 3T yang terjangkau jaringan 4G, ” ungkap politisi PKS ini. Dia merujuk data Kominfo 2020 bahwa infrastruktur 4G yang dibangun telah mencapai 83.218 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Dari 20.341 desa di wilayah 3T, masih ada 9.113 desa lainnya yang belum terselimuti jaringan 4G.
Menurut Fikri, bila jaringan internet tidak dibenahi dulu, maka bantuan laptop hanya akan menjadi barang pajangan mewah di sekolah. "Surveinya, kan, 60 persen guru masih gagap teknologi informasi. Perkembangan sekarang kita belum tahu, apakah masih sama atau ada perkembangan, ” kilahnya.
Fikri juga mengutip data Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom), Kemendikbud pada akhir 2018 lalu. Survei itu menyebut, dari total guru yang ada di Indonesia, baru 40 persen yang melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Selebihnya, 60 persen guru masih gagap dengan kemajuan di era digital ini.
Peningkatan kualitas SDM, terutama guru dan tenaga kependidikan menjadi keniscayaan untuk diprioritaskan. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, kreatifitas dan kualitas pendidik benar-benar diuji untuk menjamin kegiatan belajar mengajar tetap kondusif secara virtual.
Setiap program pendidikan nasional, lanjut Fikri, semestinya memperhatikan kondisi kelokalan yang menjadi sasaran. “Mas Mentri ini nampaknya kurang dapat dukungan data yang cukup. Sebaiknya walaupun think globally, tapi harus tetap act locally sesuai data lapangan yang bahkan sudah tersedia dan telah dirilis oleh Kemendikbud sendiri, ” pungkasnya. (***)