JAKARTA - Viralnya sebuah video tentang dipanggilnya orang tua siswa bernama Elianu Hia karena menolak mengenakan jilbab menggegerkan publik sejak Kamis (21/1/2021) kemarin.
Dalam video itu terjadi perdebatan antara Elianu dengan pihak SMKN 2 Padang yang menerapkan aturan mewajibkan seluruh siswinya mengenakan jilbab. Padahal putri Elianu Hia adalah seorang non muslim.
Insiden ini menjadi sorotan berbagai pihak, mulai Kemendikbud, KPAI, Komnas HAM dan juga para wakil rakyat di Senayan.
Ketua DPW PKB Sumatera Barat Anggia Erma Rini turut angkat bicara terkait insiden pendidikan yang ia nilai membahayakan generasi pelajar karena sejak sekolah sudah diajarkan tidak berdaulat menjalankan keyakinan agamanya.
Menurut politisi yang saat ini menjadi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini, sikap pihak sekolah yang menggunakan argumentasi bahwa hal itu adalah peraturan sekolah yang harus ditaati tidak bisa dibenarkan.
Anggia mengaku, dalam merespons insiden SMKN 2 Padang itu, ia telah mempelajari Permendikbud 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam aturan yang berisi 7 pasal dan lampiran penjelasan sebanyak 13 halaman, Perempuan yang Ketua Fatayat NU ini menegaskan, jelas-jelas tidak ada aturan mewajibkan pemeluk agama lain untuk menggunakan jilbab.
“Dalam pasal 4 ayat 1 aturan seragam muslimah hanya diperuntukkan bagi siswi beragama muslim. Kita mengecam kebijakan SMKN 2 Padang ini yang dapat mengganggu mental para siswa dalam mengamalkan kebhinekaan sebagai warga bangsa, ” demikian penjelasan Anggia Erma Rini, Minggu (25/1/2021).
Meski Kepala Sekolah SMKN 2 Padang sudah meminta maaf dan membebaskan siswi non muslim tidak menggunakan jilbab, Anggia meminta Kemendikbud tidak hanya melakukan penanganan di SMKN 2 Padang saja.
Ia meminta Kemendikbud, tidak menjadi lembaga yang hanya berfungsi seperti pemadam kebakaran. Ia mengaku khawatir dengan masalah yang menimpa Jeni Hia isunya disikapi karena video perdebatannya viral.
Kata Anggia, seharusnya Kemendikbud harus benar-benar bekerja serius mencegah insiden yang akan mengancam nilai persatuan bangsa. Salah satunya menindak tegas sekolah yang menerapkan aturan yang dapat mengoyak persatuan bangsa.
“Kemendikbud tidak cukup dengan imbauan apalagi hanya di satu sekolah atau satu provinsi. Kalau kita amati belakangan di berbagai tempat lain juga masih banyak terjadi insiden yang mencoreng pendidikan karena faktor SARA (suku, agama, ras dan antargolongan, ” tegas Anggia.
Dalam pandangan Anggia, insiden yang membahayakan tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum di UUD 1945 dan UU 20 tahun 20023 tentang Sisdiknas harus cepat disikapi oleh semua pihak.
Selain mencerdaskan kehidupan bangsa, Anggia mengingatkan bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang beriman dan takwa pada tuhan yang esa, beraklah mulia, menjadi warga negara demokratis dan beberapa sifat luhur lainnya.
“Tidak ada dalam amanah UU yang kemudian memberi mandat lembaga pendidikan menonjolkan simbol agama tertentu untuk pemeluk agama lainnya. Semua pihak untuk bersama-sama memastikan mandat dari pendidikan nasional dijalankan dengan penuh tanggung jawab secara kolektif, ” pungkas Anggia. (rel)