JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad angkat suara soal konflik PT Bosowa Corporindo dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal kepemilikan saham di PT Bank Bukopin Tbk. Menurutnya, OJK seharusnya sudah memiliki kewenangan penyidikan dalam pengawasan sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bahkan dalam Pasal 54 disebutkan bahwa pelanggar perintah tertulis OJK dapat dikenakan ancaman pidana penjara dan pidana denda.
"Pasal 54 mengenai kewenangan OJK dalam menjalankan Pasal 9 tentang perintah tertulis yang ditujukan kepada Dirut Bosowa Sadikin Aksa yang kemudian dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri. Perlu saya tegaskan bahwa di sini bapak (Kepala OJK) sudah diberi kewenangan Pasal 49, 50, 51 tentang kewenangan penyidikan. Harusnya institusi dan kelembagaan OJK kita tegakkan dengan menggunakan instrumen yang sudah diatur dalam undang-undang, " kata Kamrussamad dalam rapat kerja Komisi XI dengan jajaran OJK, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Awal Januari lalu, PTUN Jakarta memerintahkan OJK untuk menunda pelaksanaan keputusannya terkait hasil penilaian kembali Bosowa Corporindo selaku pemegang saham pengendali Bank Bukopin. Masalah bermula pada Juni 2020, OJK menyurati dua pemegang saham terbesar Bukopin yaitu Bosowa Corporindo dan Kookmin berisi perintah tertulis yang melarang keduanya melakukan tindakan yang mencegah masuknya investor lain untuk mengatasi masalah likuiditas Bank Bukopin.
“Padahal perintah tertulis itu kalau kita lihat SOP yang dijalankan masih bisa diperdebatkan dari segi timeline, segi kerja, segi tahapan, saya berharap pak Heru bisa melihat pendapat usulan yang berkembang yang ada di timnya, jangan sampai ini menjadi preseden buruk bagi industri keuangan kita, karena ini bisa menambah masalah baru bukan menyelesaikan masalah, " ungkap politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Secara khusus, Kamrussamad mengatakan bahwa alasan pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK yaitu karena lembaga tersebut dinilai bisa melakukan satu sistem terintegrasi antara satu sama lain. "Bukan malah OJK menggunakan institusi penegak hukum di luar OJK itu sendiri, " ungkapnya. "Apakah OJK menggunakan institusi lain sebagai pelapor, kami mendapatkan informasi bukan OJK yang melaporkan, tetapi siapa yang melaporkan tidak diketahui itu kan aneh, " lanjutnya.
Selanjutnya terkait isu lain, legislator dapil DKI Jakarta itu juga mengingatkan OJK terkait persetujuan pembentukan Holding UMKM. OJK perlu mengkaji terlebih dahulu sebelum melakukan persetujuan, antara BRI, Pegadaian dan PNM, sebab ketiganya memiliki segmentasi yang berbeda. Pegadaian misalnya, segmentasinya berada pada level masyarakat yang membutuhkan solusi keuangan secara cepat bahkan dalam hitungan jam.
Sedangkan, PNM dinilai Kamrusammad, menjadi satu lembaga yang mampu menjangkau masyarakat yang baru mulai usaha, tanpa kolateral, tanpa neraca rugi-laba, bahkan tanpa punya pendidikan formal yang bisa dijangkau melalui program Ultra Mikro (UMi). Sementara BRI sendiri memiliki telah menjangkau dan menjalankan program bantuan kepada banyaknya sektor UMKM.
"Kalau pemerintah tidak lakukan placement KUR di BRI, tidak akan bisa sampai 1, 3 juta nasabah mereka di sektor UKM. karena itu bapak mohon dikaji lebih dalam, tidak serta merta berikan persetujuan terhadap pembentukan holding UMKM, karena regulasi perbankan, pasar modal dimana BRI bisa jadi mendistorsi segmentasi bisnis dua lembaga itu, mohon OJK bisa secara jernih memikirkan hal ini, " pungkasnya.
Hadir dalam rapat kerja tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memyatakan akan mendukung berbagai komentar dan arahan yang disampaikan Anggota Komisi XI. "Sudah kami pahami beberapa arahan komentar pertanyaan dan kami mendukung untuk dibahas dan direspon dalam panja sebagaimana arahan pimpinan, " tutupnya. (alw/sf)